Setiap tanggal 11 Desember diperingati sebagai Hari Korban 40 ribu jiwa, Minggu 11 Desember 2011 kemarin suasana hening dan doa untuk korban 40 ribu jiwa dalam peringatan korban 40 ribu jiwa. Setiap tahun peristiwa ini diperingati dengan upacara yang bersifat rutin saja, tanpa menghayati bagaimana sejarah terjadi peristiwa tersebut. Ini bukan masalah jumlah lagi, tapi ini sebuah pengorbanan luar biasa yang dilakukan para pejuang. Para pejuang mengusulkan tanggal 11 Desember diperingati sebagai hari perlawanan rakyat.
Aksi pembantaian oleh pasukan KNIL Belanda terhadap ribuan penduduk Sulsel pada periode 1946-1947, tentu sulit untuk dilupakan. Tragedi kemanusiaan yang dikenang dengan korban 40.000 ribu jiwa ini dipimpin seorang opsir Baret Hijau utusan Pemerintah Belanda, Westerling. Tanggal ll Desember sebetulnya adalah hari dinyatakannya keadaan Darurat Perang di beberapa daerah termasuk Afdeling Parepare. Pada hari itulah yang menjadi dasar beraksinya Kapten Raymon Westerling. Aksi penembakan tidak berhenti dan terjadi hampir diseluruh daerah Sulawesi Selatan. Mereka yang gugur, kita sebut sebagai korban 40,000 jiwa akibat kekejaman penjajah Belanda yang dilakukan oleh Special Troopen pimpinan Kapten Raymon Paul Piere Westerling.
Aksi pembantaian oleh pasukan KNIL Belanda terhadap ribuan penduduk Sulsel pada periode 1946-1947, tentu sulit untuk dilupakan. Tragedi kemanusiaan yang dikenang dengan korban 40.000 ribu jiwa ini dipimpin seorang opsir Baret Hijau utusan Pemerintah Belanda, Westerling. Tanggal ll Desember sebetulnya adalah hari dinyatakannya keadaan Darurat Perang di beberapa daerah termasuk Afdeling Parepare. Pada hari itulah yang menjadi dasar beraksinya Kapten Raymon Westerling. Aksi penembakan tidak berhenti dan terjadi hampir diseluruh daerah Sulawesi Selatan. Mereka yang gugur, kita sebut sebagai korban 40,000 jiwa akibat kekejaman penjajah Belanda yang dilakukan oleh Special Troopen pimpinan Kapten Raymon Paul Piere Westerling.
Berapa rakyat Sulsel yang dibantai Westerling ? Jumlahnya diyakini tidak sampai 40 ribu jiwa, seperti yang dikenal selama ini. Angka 40 ribu jiwa itu pertama keluar dari Mulut Qahar Muzakkar sebagai bahasa politis untuk menggambarkan bahwa di Sulsel telah banyak rakyat yang dibantai Westerling. Jumlah rakyat sulsel yang tewas di tangan Westerling "hanya" sekitar 1.700 jiwa, paling banyak tiga ribuan orang. Westerling sendiri mengatakan “Tanyakan kepada Pak Sarwo Edhie Wibowo, berapa banyak orang yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus. Seingat saya 463 orang.”. Meski demikian, masalah jumlah tidak perlu diperdebatkan, yang pasti perbuatan Westerling merupakan tragedi kemanusiaan yang sudah masuk dalam kejahatan perang. Anehnya, Westerling bukannya mendapat hukuman, malah disambut dengan pesta kemenangan oleh pemerintah Belanda bagaikan pahlawan.
Yang menyakitkan lagi bagi para keluarga korban kejahatan Westerling di Makassar karena belum lama ini muncul pemberitaan bahwa para keluarga korban pembantaian di Rawa Gede Jawa Barat yang jumlahnya "hanya" tujuh orang telah mendapat pengakuan dan kompensasi dari pemerintah Belanda, sementara keluarga korban di Sulsel yang jumlahnya ribuan orang tidak mendapat pengakuan dari Belanda sebagai sebuah aksi kejahatan perang.
Pada 26 November 1987, umur 68 tahun di Purmerend, Belanda, Westerling meninggal dunia, mati dengan tenang tanpa pengadilan sebagai penjahat perang. Di kematiannya, Westerling pun tersenyum, tersenyum penuh kemenangan.
Sejarah dan Latar Belakang Tragedi Korban 40.000 Jiwa
Dari beberapa buku sejarah yang memuat tragedi korban 40 ribu jiwa, seperti "Andi Makkasau Menakar Harga Korban 40 Ribu Jiwa", menyebutkan. Penjajah Belanda khawatir akan kehilangan daerah jajahan di Indonesia akibat perkembangan diplomasi politik dan militer di Jawa , setelah Indonesia memproklamsikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus l945. Belanda pun menyusun strategi untuk memecah kesatuan Indonesia dengan menerapkan negara-negara boneka yang bernaung di bawa Republik Indonesia Serikat (RIS). Untuk Indonesia bagian timur, dibentuk Negara Indonesia Timur (NIT), di Jawa Barata ada Negara Pasundan, dan lain-lain. Usaha tersebut dimulai dengan mengadakan konferensi di Malino 16 Juli l946 yang dihadiri oleh utusan negara-negara boneka Belanda. Pada tanggal 24 Desember l946, Makassar diresmikan sebagai markas ibukota NIT.
Akhirnya Belanda membentuk Comanding Officer NICA (CONICA) disetiap daerah untuk tetap menguasai daerah jajahannya. Namun usaha Penjajah tersebut mulai mendapat perlawanan dari raja-raja diaerah Sulsel (termasuk Sulawesi Barat sebelum mekar), Raja Bone Andi Mappanyuki mulai menentang pembentukan CONICA dengan meninggalkan Bone bersama anaknya Andi Pangeran Petta Rani yang akhirnya tertangkap oleh NICA.
Sam Ratulangi dan Lanto Daeng Pasewang yang dipersiapkan untuk membentuk pemerintah daerah di Sulawesi-Selatan setelah pulang menghadiri Pertemuan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) juga ditangkap dan diasingkan ke Serui.
Belanda mulai memperalat apa yang disebut “Dewan Hadat Sulawesi Selatan”, dibuatlah seolah-olah rakyat Sulsel meminta perlindungan keamanan kepada Pax. Nedherlandica untuk membasmi aksi–aksi perlawanan pejuang dan rakyat Indonesia yang dianggap ilegal ini. Dengan konsiderasi Dewan Hadat tersebut, keluarlah keputusan yang menyatakan afdeling Makassar, Bonthain, Parepare, Mandar dan gemeete Makassar dalam keadaan perang dan darurat perang (staat van oorlog en beleg) pada tanggal 11 Desemebr l946.
Belanda memulai agresi militernya "stand–recht" perintah tembak ditempat tanpa proses bagi mereka yang di sebut sebagai "bandit, penjahat, extrimis, pemeras, terroris, perampok, pemeras, anarkis, orang-orang memiliki senjata secara tidak sah, mereka yang membantu menyembunyikan kriminal".
Untuk menimbulkan “shock therapie” bagi pejuang kemerdekaan di daerah ini, didatangkanlah pasukan istimewa KNIL (para troopen) dipimpin oleh Kapten Raymond Paul Piere Westerling yang pada waktu itu masih berusia 27 tahun, dengan beranggotakan 123 orang.
Aksi Perlawanan di Parepare
Di Parepare, dengan dipelopori Andi Makkasau (Datu Suppa Toa) dan Andi Abdullah Bau Massepe (Datu Suppa Lolo), sudah membentuk Badan Persiapan Republik Indonesia (BPRI) untuk mendirikan pemerintahan Indonesia yang merdeka di afdeling Parepare. Andi Makkasau bersama pengikutnya mulai melakukan penentangan kepada penjajahan Belanda dengan mempersiapkan pasukan perlawanan. Bersama golongan pemuda melakukan perlawanan gerilya dan sabotase dalam kota untuk menunjukkan eksistensi adanya negara dan pemerintahan Indonesia.
Perlawanan sengit mulai diperlihatkan di Parapere, pemuda Arifin Nummang, A Mannaungi dan kawan-kawan melempari granat tangsi Belanda, menembak patroli secara sembunyi-sembunyi. Oleh Belanda gerakan Inilah antara lain di anggap semacam teroris dan ekstrimis, penjahat-penjahat atau kriminal karena bertindak untuk membinasakan pasukan-pasukan penjajahan yang dianggapnya “sah” memerintah rakyat Indonesia.
Beberapa tokoh dan pemuda BPRI di Parepare kemudian ditahan antara lain A.J.Jusuf Binol, Abd. Hamid Saleh, Usman Isa, Makkarumpa Daeng Parani, A. Abubakar, La Halide, A.Mappatola, Muh,Jasim, Haddaseng, Jalangkara, Tahir Djamalu, La Cara, Mustakim, A. Sinta, A. Isa, La Sita, juga telah ditangkap sebelumnya kemlompok pemuda A.Rahim Manji, Mansyur Munastan, S.Mon, Ajuba, Abd.Waris, Abdullah Keppang, Yunus Hasnawi, Zainuddin Zaini.
A. Abdullah Bau Massepe ditangkap dan dibawah ke Makassar, kemudian dikembalikan ke Pinrang untuk diperiksa. A. Makkasau pun ikut tertangkap, tetapi atas permintaan mertuanya A. Tjalo yang menjadi Arung Mallusetasi ketika itu, ia ditahan di rumah mertunya dengan janji untuk diberi penyadaran dan diinsafkan.
Penahanan beberapa tokoh dan pemuda di Parepare dan sekitarnya, tidak mengendurkan perlawanan para pejuang dan pemuda-pemuda. Beberapa pemuda menyebrerang ke Jawa melalui beberapa titik pemberangkatan seperti Suppa. Perlawanan pasukan-pasukan di Sawitto yang dipimpin A.Selle makin gencar, demikian pula pelawanan pasukan A.Cammi yang membawa nama Lasykar Ganggawa di daerah Sidrap dan berpusat di Carawali mengadakan penghadangan dan menyerbu tangsi Belanda di Rappang.
Perlawanan gencar seperti inilah yang semakin menakutkan pemerintahan penjajah Belanda . Pada tanggal 14 Januari l947 , militer Belanda dipimpin oleh Onder Luitenant Vermeulen menggiring 23 orang pejuang yang sedang di tahan di markas MP (sekarang Asrama CPM) Parepare, dibawah berjalan ke terminal (kini Tugu Korban 40.000). Mereka itu Makkarumpa Daeng Parani, A.Isa, A.Sinta, Abdul Rasyid, La Nummang, Muh.Kurdi,Abd. Muthalib, Lasiming, Paung Side, La Sibali, Oyo, LA Sube,A.Mappatola, A.Pamusureng, Abubakar Caco,A.Etong, Bachrong,H.A. Abubakar, Osman Salengke (Syamsul Bachri) ,La Upe, La Buddu, La Side, Haruna.
Mereka dijajarkan kemudian di ditembak. Salah seorang perempuan yang sedianya akan turut ditembak Hasnah Nu’mang akhirnya dikeluarkan dari barisan. 23 korban penembakan diangkut dengan truk sebagai syuhada, tanpa dimandikan dan dikafani , dikebumikan bersama dalam satu lobang di pekuburan La Berru ( sekarang Taman Makam Kesuma) Parepare.
Tidak berselang berapa lama, Pebruari l947 A. Abdullah Bau Massepe juga dieksekusi, menyusul pada bulan yang sama A.Makkasau di tenggelamkan di perairan Marabombang Suppa. Kemudian pada tahun l950 kerangkanya dipindahkan ke Makam Pahlawan Paccakke Parepare. Seperti diketahui, Abdulah Bau Massepe dalam Konprensi Pacceke di Kabupaten Barru 20 Januari l947 dalam rangka pembentukan Divisi Hasanuddin, Tentara Republik Indonesia (TRI) di Sulawesi-Selatan, telah diangkat menjadi Panglima Divisi berdasarkan mandat Panglima Besar TRI Jenderal Sudirman.
Mandat ini dibawa oleh ekspedisi TRI dari Jawa yang dipimpin oleh Kapten A.Mattalatta, didampingi Kapten M.Saleh Lahade, Letnan Satu A.Oddang, Letnan Satu A.Sapada. Karena A.Abdullah Bau Massepe dalam tahanan Belanda di Pinrang, maka pelantikan dilakukan secara in absensia. Divisi Hasanuddin membawahi tiga resimen . Konprensi ini, dihadiri antara lain utusan kelasykaran dari seluruh Sulawesi-Selatan. Hadir mewakili Lasjkar Ganggawa dari Parepare dan sekitarnya adalah A.Mannaungi, Lantja Rachmansyah.
Mereka kemudian juga diberi pangkat Kapten. Adapun Kapten A. Muh. Sirpin yang juga melakukan pendaratan dari Jawa, tidak bisa hadir pada acara pelantikan ini, karena telah gugur melawan pasukan Belanda di Salossoe. Nama A.M.Sirpin kemudian diabadikan oleh Letnan satu A.Sapada menjadi nama perguruan tinggi yang kita kenal sebagai AMSIR. Singkatan dari Andi Muhammad Sirpin. Demikianlah, jika A.Abdullah Bau Massepe tidak segera dibinasakan, maka ia akan memimpin tiga resimen perlawanan di Sulawesi-Selatan, karena itu Belanda tidak ingin mengambil resiko.
Hari penembakan korban 40.000 di Parepare tepatnya tanggal 14 Januari l947. Tak hanya di Parepare, pasukan Westerling pun melakukan aksi serupa di sejmlah wilayah di Sulsel, khususnya Makassar. Sehingga tak heran jika mantan tentara bayaran Inggris ini dijuluki sijagal.
Apa yang dilakukan Westerling di Sulsel merupakan bentuk dari penyebaran teror agar masyarakat menjadi takut. Sebelum ke Makassar, Westerling juga melakukan pembunuhan di Medan dengan cara yang sangat sadis sekali. Sasaran Westerling kata Salim adalah orang-orang yang dianggap ekstremes dan sejumlah perampok. Teror ini sengaja disebarkan agar pembentukan Negara Indonesia Timur bisa diterima tanpa hambatan, karena saat itu Soekarno-Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Kehadiran Westerling bersama pasukannya di Sulsel sebagai upaya pemerintah Belanda untuk memecah belah rakyat Indonesia dan kembali menguasai Indonesia.
Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.
Profil Singkat Westerling
Raymond Pierre Paul Westerling (lahir di Istanbul, Kesultanan Utsmaniyah, 31 Agustus 1919 – meninggal di Purmerend, Belanda, 26 November 1987 pada umur 68 tahun) adalah komandan pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling (1946-1947) di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa Barat.
Westerling adalah anak kedua dari Paul Westerling (Belanda) dan Sophia Moutzou (Yunani). Westerling dijuluki "si Turki" karena lahir di Istanbul, mendapat pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham. Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia.
Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai: "It’s hell on earth" (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain "unarmed combat" (perkelahian tangan kosong), "silent killing" (penembakan tersembunyi), "death slide", "how to fight and kill without firearms" (berkelahi dan membunuh tanpa senjata api), "killing sentry" (membunuh pengawal) dan sebagainya.
Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus). Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan, dan setelah 'berhasil' menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan dan namanya membubung tinggi seantero Belanda.
Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai pertemuan. Dalam satu pertemuan dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab, "Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan." Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut.
Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis.
Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika.
Dikabarkan, Westerling pernah berusaha menjadi penyanyi di Jerman tetapi tidak berhasil, akhirnya pulang lagi ke Belanda dan menjadi penjual buku, juga gagal. Ada yang mengatakan, selama hidupnya ia merasa tidak tenteram dan satu-satunya hiburannya adalah bertemu dengan kawan-kawan lama sesama pasukan Belanda di Indonesia dan mengobrol di restauran.
Pada 26 November 1987, umur 68 tahun di Purmerend, Belanda, Westerling meninggal dunia, mati dengan tenang tanpa pengadilan sebagai penjahat perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar