Makna Idul Fitri di Indonesia dan Sejarah Istilahnya
id = kembali
fitri = asal kejadian
Ada tiga pengertian tentang Idul Fitri. Pertama, Idul Fitri adalah kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin. Kedua, Idul Fitri adalah kembali kepada fitrah, atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya. Ketiga, Idul Fitri adalah kembali kepada keadaan di mana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab, pengertian ketiga itu dianggap yang paling tepat.
Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban. Namun inilah uniknya Idul Fitri di Indonesia, tradisi mudik dan saling memaafkan.
Selain makna Idul Fitri, ada hal lain yang menarik untuk disimak di kalangan umat Islam di Indonesia, yakni mengenai istilah-istilah Idul fitri yang sering kita temui pada masyarakat Indonesia. Mari kita telusuri satu persatu.
Taqabbalallaahu Minna Waminkum
باب مَا رُوِىَ فِى قَوْلِ النَّاسِ يَوْمَ الْعِيدِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحَسَنِ بْنُ عَبْدَانَ أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا أَبُو عَلِىٍّ : أَحْمَدُ بْنُ الْفَرَجِ الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الشَّامِىُّ حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ قَالَ : لَقِيتُ وَاثِلَةَ بْنَ الأَسْقَعِ فِى يَوْمِ عِيدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ وَاثِلَةُ : لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عِيدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ :« نَعَمْ تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ » .رواه البيهقي كتاب العيدين ج ٣ ص ٢١٩
..Dari Kholid bin ma’dan berkata: “Aku bertemu dengan Watsilah bin asqo’ di dalam hari raya maka aku berkata : “Taqobbalallohu minna waminka”, maka dia menjawab : Na’am taqobbalallohu minna waminka”. Watsilah berkata : “Aku bertemu dengan Rosulloh SAW pada hari raya maka aku berkata : “Taqobbalallohu minna waminka”, maka Nabi menjawab : “Na’am, Taqobbalallohu minna waminka”. ( HR. Baihaqi )
Berdasarkan hadist tersebut di atas, pada saat hari Raya para sahabat saling mengucapkan "Taqobbalallahu minna waminkum" yang artinya "semoga Allah menerima amalku dan amal kalian".
"Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan". Maksudnya, menerima amal ibadah kita semua selama bulan Ramadhan.
Para sahabat juga biasa menambahkan :
shiyamana wa shiyamakum,
yang artinya semoga juga puasaku dan puasa kalian diterima.
Dalam perkembangannya lagi, ada yang menambahkan :
Taqabbal Yaa Kariim
yang artinya terimalah ya Allah, Yang Maha Perkasa yang tidak bisa dikalahkan, Yang Maha Memberi tanpa diminta.
Minal Aidin wal Faizin
Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa yakni : “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal Faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) kemenangan”. Namun Quraish Shihab menafsirkan faizin bukan kemenangan, namun lebih jauh lagi, "masuk surga". Minal 'Aidin wal-Faizin telah menjadi bagian tradisi yang biasa diucapkan antara sesama muslim Indonesia saat merayakan Idul Fitri, setelah menunaikan ibadah puasa pada bulan ramadan.
Ucapan ini secara harfiah diterjemahkan menjadi "dari (yang) kembali dan berhasil", secara umum diterjemahkan "Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan berhasil (dalam latihan menahan diri). Setelah mengasah dan mengasuh jiwa (yaitu berpuasa) selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dn menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagai mana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Walaupun berbahasa Arab, ucapan ini tidak akan dimengerti maknanya oleh orang Arab, dan kalimat ini tidak ada dalam kosa kata kamus bahasa Arab, dan hanya dapat dijumpai makna kata per katanya saja. Tidak ada dasar-dasar yang jelas tentang ucapan ini, baik berupa hadist atau lainnya.
Sebenarnya ada potongan kalimat yang semestinya ditambahkan di depan kalimat ini, yaitu ja’alanallaahu (semoga Allah menjadikan kita). Jadi selengkapnya kalimat minal ‘aidin wal faizin bermakna (semoga Allah menjadikan kita) bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah).
Halal bi Halal
Jika diterjemahkan secara langsung, ”halal bi halal” berarti “kosong-kosong”. Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama. Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat. Dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan.
Mohon Maaf Lahir dan Batin
“forgive me from the bottom of my heart/soul for my wrongdoings”. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Kaum muslim Indonesia saling memaafkan setelah shalat Idul Fitri agar kembali ke fitrah, kembali suci, kembali bersih.
Wallaahu 'Alam bis shawab.
Akhirnya, saya mengucapkan
Selamat Idul Fitri 1432 Hijriyah.
Taqabbalallaahu Minna Waminkum
shiyamana wa shiyamakum,
Taqabbal Yaa Kariim
Minal ‘Aidin Wal Faizin.
Mohon Maaf Lahir dan Batin
Referensi: [wikipedia, donnyah.blogsome.com, blog.al-habib.info, tanbihun.com, rudisony.wordpress.com]
Dialog Ramadlan bersama Cak Nur: Merenungi makna dan hikmah ibadah puasa, Lailatul Qadr, Nuzulul Qur'an, zakat dan Hari Raya Idul Fitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar