10 Agu 2011

Ramang, Macan Bola dari Makassar

Ramang, Macan Bola dari Makassar

Ramang, penyerang tengah tim nasional PSSI pada era tahun 1950-an hingga 1970-an. Di Makassar, Siapa yang tidak mengenal Ramang? Bahkan "mitos"nya mengatakan bahwa setiap tendangannya sangat keras. Jangan menangkap tendangan bolanya kalau tidak ingin muntah darah, ataupun kalau kena tiang/ mistar gawang, dipastikan mistar tersebut akan bengkok atau patah. Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika di tahun 50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orangtuanya. Kalau anak-anak Makassar bermain bola, anak-anak selalu bercita-cita menjadi Ramang.

Menurut saya, mungkin kurang pas jika Ramang diidentikkan dengan "macan", mestinya diidentikkan dengan "ayam jantan", atau "juku eja" (ikan merah), yang identik dengan Sultan Hasanuddin atau PSM Makassar. Ataukah Ramang tak perlu diidentikkan dengan apapun. Ya, Ramang adalah Ramang. Bahkan PSM Makassar, salah satu tim terbaik di Indonesia dengan bangga mengidentikkan dirinya sebagai "Pasukan Ramang".

Ramang (Lahir di Barru, 24 April 1928) adalah pemain sepak bola Indonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai penyerang tengah. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.

Ramang kecil sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo'lo, ajudan Raja Gowa (Djondjong Karaenta Lemamparang), sudah lama dikenal sebagai jagoan paraga (sepakraga). Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.

Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM.

Sambil berprofesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi seorang kenek truk dan tukang becak. Namun, Ramang terpaksa meninggalkan profesinya sebagai penarik becak karena sibuk bermain bola (dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo, 7 Oktober 1978). Hal itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat memprihatinkan.

Setahun setelah kemenangan klubnya 9-0 dalam kompetisi PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Ketika ia kembali ke Makassar, sambil bermain bola Ramang bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Gajinya Tak pernah naik dari angka Rp 3.500. Untungnya hanya satu: ia masih tetap bisa main bola.

Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini membuatnya menjadi penyerang tengah utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri. Permainannya sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.

Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.

Berkat prestasi Ramang, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. Teman setim Ramang di PSSI kala itu adalah: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.

Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang adalah penembak jitu, dari sasaran mana pun dan keadaan sesulit bagaimana pun, bahkan ia mampu menendang dari segala posisi sambil berlari kencang dan tembakan salto. Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.

Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. "Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang," kata Ramang.

Kejayaan Ramang terbilang singkat, tahun 1960, sesudah namanya sempat melangit ia dijatuhi skorsing. Ramang dituduh makan suap. Tahun 1962 ia dipanggil kembali, tapi pamornya sudah berkurang. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan, yang berakhir dengan kekalahan. Setelah berhenti jadi pemain bola, ia mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.

Karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang sangat ia hormati.

Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. "Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi," katanya dengan kecewa. Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. "Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?" katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia seringkali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya.

Suatu malam di tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM, Ramang pulang dengan pakaian basah dan membuatnya sakit. Enam tahun ia menderita sakit di paru-parunya tanpa bisa berobat ke Rumah sakit karena kekurangan biaya. Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak bola legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Ramang dimakamkan di TPU Panaikang.

Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan Karebosi pernah dibuat untuknya. Namun sekarang patung itu sudah lenyap karena renovasi lapangan Karebosi. Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepak bola Makassar, Indonesia yang disegani dunia, Ramang.

  
 Patung Ramang di Karebosi (dulu)

Untuk mengenangnya, buku "Ramang Macan Bola" diterbitkan. Selasa, 9 Agustus 2011 di Jakarta, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng meluncurkan buku "Ramang Macan Bola". Buku ini ditulis oleh M. Dahlan Abubakar. Dalam buku setebal 631 halaman ini penulis banyak mengungkapkan kisah dan perjalanan panjang Ramang. Penulis mendapatkan semua informasi tentang Ramang yang berasal dari narasumber yang pernah bermain bersama, pernah dilatih, pernah menonton, hingga pernah mendengar cerita tentang sosok Ramang. Semua cerita mereka tertuang dalam buku ini. buku ini bisa didapatkan di Toko Buku Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas) Kampus Tamalanrea, seharga Rp 125 ribu.

sumber :
wikipedia
bola.kompas.com
makassar.tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...