Asy-Syaikh al-haj Yusuf Abu al-Mahasin Hidayatullah Taj Al-Khalwati al-Makasari atau Tuanta' Salama' ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Taj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni atau Abidin Tadia Tjoessoep atau yang lebih dikenal dengan nama Syech Yusuf lahir 3 Juli 1626 di Kabupaten Gowa.
Lahir dalam masyarakat yang kompleks dan penuh dinamika. Saat itu, peperangan tengah berkecamuk di antara kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terjadi persaingan melawan kompeni Belanda yang tengah sibuk berebut jalur perdagangan. Suasana keagamaan juga berada dalam masa transisi, sehingga kepercayaan lama dan Islam masih bercampur-baur.
Asal-usul ulama besar ini memang tak dapat dipastikan kebenarannya, karena bersumber dari cerita dan legenda. Menurut lontarak RTSG (Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa = Riwayat Tuan Pembawa Selamat = Riwayat Syech Yusuf) versi Gowa, ibu Syech Yusuf bernama Aminah puteri Gallarang Moncongloe dan ayahnya seorang tua yang tak diketahui asal kedatangannya. Orang tua itu dikenal sebagai orang suci yang konon mempunyai banyak keramat. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Jilid IV meyebutkan ayah Syekh Yusuf bernama Abdullah.
Setelah 40 hari kelahiran Yusuf, Aminah dipersunting Raja Gowa setelah diceraikan suaminya. Yusuf dan sang ibu pun berpindah ke istana.
'Yusuf bukanlah seorang bangsawan. Dia diangkat oleh Sultan Alaudin dan dibesarkan di istana Sultan, namun tak pernah mendapat gelar kebangsawanan.'Yusuf kecil dibesarkan dalam kehidupan Islami. Selepas mengkhatamkan Alquran dari gurunya Daeng ri Tasammang, ia menimba ilmu sharaf, nahwu, mantik dan beragam kitab dari Syed Ba' Alwy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala. Dalam waktu singkat, Yusuf belia sudah menguasai dan tamat mempelajari kitab-kitab fikih dan tauhid.
Nabilah Lubis dalam bukunya Syekh Yusuf Al-Taj Al-Makari:Menyingkap Intisari Segala Rahasia
Sejak kecil, ilmu tasawuf begitu memnarik perhatiannya. Sebagain besar perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang guru besar. Dianggap telah cakap, pada usia 15 tahun Yusuf disarankan untuk menimba ilmu di negeri lain. Yusuf muda pun berguru pada Syekh Jalaludin al-Aidit pun di Cikoang, sebelah selatan Sulawesi Selatan.
Rasa ingin tahunya yang begitu besar tentang ilmu-ilmu keislaman mengantrakannya ke luar negeri. Tepat pada 22 September 1644, saat Kerajaan Gowa dipimpin Sultan Malikussaid, di usia 18 tahun, ia meninggalkan tanah kelahirannya menuju Makkah menumpang kapal Melayu dari Somba Opu.
Delapan hari mengarungi lautan, Yusuf kemudian singgah di Banten. Di tanah para jawara itu, Yusuf muda yang supel berkenalan dengan ulama, ahli agama dan pejabat. Yusuf bersahabat dengan Pangeran Surya, putera mahkota Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir. Kelak, Pangeran Surya menjadi Sultan Ageng Tirtayasa.
Ia begitu tertarik dengan Syech Nuruddin ar-Raniri, seorang ulama kondang yang bermukim di Aceh. Syech Yusuf menemui Syech Nuruddin dan berguru sampai mendapat ijazah tarekat Qadiriyah. `'Tarket Qadiriyah saya terima dari Syech kami yang alim, arif sempurna dan menyatukan antara ilmu Syariat dengan ilmu Hakikat, penghulu kami Syekh Nuruddin Hasanji bin Muhammad Hamid Al-Quraisyi ar-Raniri,'' ungkapnya dalam risalah Safinat an-Naja.
Lima tahun sudah Yusuf berkelana di Banten dan Aceh. Timur Tengah, kini menjadi tujuan berikutnya. Bertolak dari Pelabuhan Banten, Syekh Yusuf akhirnya sampai ke Timur Tengah. Yaman adalah negeri pertama yang dikunjunginya. Ia berguru pada Sayed Syech Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi sampai mendapat ijazah tarket Naqsyabandi.
Di negeri itu pula, Syech Yusuf mendapat ijazah tarekat al-Baalawiyah dari Syekh Maulana Sayed Ali. Setelah menunaikan ibadah haji di Makkah, ia kemudian menemui Syech Ibrahim Hasan bin Syihabuddin al-Kurdi al-Kaurani di Madinah hingga mendapatkan ijazah tarekat Syattariyah. Empat ijazah yang telah digengamnya masih belum dirasa cukup. ia pun mengunjungi Syekh Abu al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al-Khalwati al-Quraisyi. Ijazah tarekat Khawatiyah pun kembali digenggamnya dan mendapat gelar Tajul Khalwati Hadiyatullah.
Di usia 38 tahun, Syech Yusuf akhirnya kembali ke Gowa dan telah menjadi seorang guru yang besar. Menurut sumber lontara, sesampainya di kampung halaman Syekh Yusuf begitu kecewa, Gowa telah berubah. Nabilah Lubis dalam bukunya mengutip sumber sejarah yang bersifat separuh dongeng menuturkan pada masa itu syariat Islam seolah-olah telah dikesampingkan, maksiat dan kemungkaran merajalela.
Setelah tak berhasil meyakinkan Sultan untuk melaksanakan kembali Syariat Islam, Syech Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten. Pada 1664, Banten pun telah berubah. Sahabatnya, telah menjadi Sultan bergelar Ageng Tirtayasa. Ia kini didaulat sebagai ulama tasawuf dan syekh tarekat. Dalam sekejap, namanya sudah termasyhur, karena keluhuran ilmunya.
Sebagai sufi, Syekh Yusuf juga dikenal memiliki kepribadian yang menarik. Ia dipercaya mendidik anak-anak Sultan di bidang agama Islam dan membuka pengajian bagi penduduk. Sejumlah karya mengenai ajaran tasawuf ditulisnya di Banten.
Banten pun berubah ketika Pangeran Gusti - putera mahkota Banten yang kemudian mendaulat menjadi Sultan Haji - tiba dari Makkah. Kompeni Belanda mulai menghasut Pangeran Gusti untuk memberontak pada sang ayah. Maret 1682, pertempuran antara kompeni Belanda yang mendukung Sultan Haji dan Sultan Ageng pun meletus. Syech Yusuf dan Sultan Ageng serta Pangeran Purbaya bahu membahu melawan kompeni.
Setahun kemudian, Sultan Ageng ditangkap kompeni setelah ditipu anaknya. Perjuangan belum habis. Syech Yusuf memimpin 5.000 pasukan termasuk 1.000 orang dari Makassar bersama Pangeran Purbaya mengobarkan perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat Tasikmalaya. Pada 1683, Syech Yusuf ditangkap Belanda di Sukapura.
Awalnya, ia ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta). Pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda. Ia dan keluarga kemudian diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684. Di tempat baru itu, Syech Yusuf memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam.
Di Srilanka, ia bertemu dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syech Ibrahim Ibn Mi'an, ulama besar dari India. Ia pula yang meminta Syech Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.
Syech Yusuf pun leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan muridnya di negeri Srilanka. Kabar dari dan untuk keluarganya, ia terima dan sampaikan melalui jamaah haji singgah di Srilanka. Lewat jalur itu, ajarannya sampai kepada muridnya. Belanda kembali kebakaran jenggot dan menganggap Syech Yusuf masih mejadi ancaman. Pengaruhnya masih begitu besar, meski berada jauh dari tanah kelahiran.
Guna menjauhkan pengaruh Syech Yusuf di Tanah Airnya, Belanda membuangnya ke Afrika Selatan. Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syech Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet yang kemudian dikenal dengan Madagaskar.
Di Afrika Selatan, Syech Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai 'Salah Seorang Putra Afrika Terbaik'. Perkembangan Islam di Afrika Selatan tak lepas dari peran Syech Yusuf, "Syech Yusuf adalah bapak Islam di Afrika Selatan," kata Ibrahim Saleh, Kepala Bosmont Muslim School.
Syech Yusuf bukanlah penyebar Islam pertama di Afrika Selatan. Tapi di tangannyalah, Islam mampu berkembang dengan cepat, terutama di kalangan budak asal Indonesia dan Malaysia yang didatangkan Belanda ke negara ini.
Syech Yusuf adalah salah satu tokoh pejuang Indonesia melawan penjajah Belanda. Atas jasanya, ia pun sudah dianugerahi gelar pahlawannasional oleh pemerintah Indonesia pada 1995.Ulama keturunan bangsawan itu diasingkan Belanda ke Cape Town pada 1964. Di kota itu ia justru menjelma menjadi penyebar agama Islam yang berpengaruh. Distrik pengasingannya kini bahkan dikenal dengan sebutan "Kampung Makassar".
Nelson Mandela, Bapak Bangsa Afrika Selatan, termasuk orang yang menaruh respek kepada Syech Yusuf. Ia menyebut Syech Yusuf sebagai salah satu pemberi inspirasi dalam perjuangan melawan sistem apartheid di negerinya. Ia pun beberapa kali berziarah ke makam tokoh yang disucikan oleh warga muslim di Afrika Selatan itu.
Sekarang ini, di Republik Afrika selatan, terutama di Propinsi Western cape, memang banyak komunitas muslim. Jumlahnya sekitar 10 % atau kurang lebih delapan ratus ribu orang, terkonsentrasi di wilayah Semenanjung Harapan (Cape Town dan sekitarnya). Tetapi sebagian lagi juga ada yang menetap di Propinsi Eastern Cape (beribukota Port Elizabeth).
Komunitas muslim disini dinamakan Cape Malay dan dulu di klaim oleh negara tetangga kita (Malaysia) sebagai bagian dari mereka. Mereka pernah mengajak tokoh-tokoh Cape Malay (dalam pengertian tidak saja tokoh agama melainkan juga tokoh budayawan) ke Malaysia. Tapi ketika diminta menunjukkan dimana letak Macassar (begitu ejaannya di Afrika, sehingga kampung tempat makam Syekh Yusuf disebut Karamat Macassar Faure), mereka kelabakan dan tidak bisa menunjukkannya. Alhamdulillah sekarang kita telah berhasil mempertunjukkan dan menghubungkan mereka dengan Makassar (Sulawesi Selatan), dan sekarang kita sedang dalam proses membangun pusat kebudayaan Makassar serta perpustakaan di Macassar Faure.
Di Afrika Selatan, selain keturunan Syech Yusuf, masih banyak lagi keturunan Indonesia lainnya. Antara lain keturunan Sultan Tidore (Imam Abdullah bin Kadir Abdussalam yang disini dijuluki sebagai Tuan Guru, seorang buangan politik dari Maluku Utara yang kemudian mendirikan madrasah dan masjid pertama di cape Town). Selain itu ada keturunan sultan dari Nusa Tengara Barat (di Afrika Selatan, tokoh keturunannya adalah Boeta Lalu Ebrahim Manuel Dea Malela).
Selain itu sangat banyak tokoh-tokoh islam lainnya di masa VOC dulu yang berasal dari Indoensia. Tokoh yang pertama adalah Pangeran dari Madura (Tjakraningrat) yang makamnya disebut Karamat Motura, terletak di Robben Island. Ada lagi di Constantia Karamat orang-orang dari Minangkabau.
Syech Yusuf gigih melawan penjajah Belanda, diasingkan ke Afrika Selatan (Capetown) dan meninggal dunia dalam usia 73 tahun pada tanggal 23 Mei 1699, dimakamkan di daerah pertanian Zanvliet di Distrik Stellenbosch, Afrika Selatan. Atas permintaan Raja Gowa, Abdul Djalil, 5 April 1795, makam Syekh Yusuf dipindahkan ke Lakiung, tak jauh dari Masjid Katangka.
Pemerintah Indonesia menetapkan Syech Jusuf sebagai pahlawan nasional dan di Afrika Selatan, ia mendapat tempat yang sangat istimewa di hati rakyat sebagai pahlawan pembebasan kaum tertindas dan dianugerahi gelar pahlawan nasional di negara tersebut.
Makam Syech Yusuf di Afrika Selatan dan di Makassar
Syech Yusuf, seorang sufi dan pejuang yang menjadi pahlawan nasional di dua negara (Indonesia dan Afrika Selatan). Di Masjid Katangka, Syech Yusuf banyak meluangkan waktu untuk membimbing murid-muridnya. Sangat jarang, bahkan setahu saya tak ada seseorang yang bisa menjadi pahlawan di dua negara yang berbeda, kecuali Syech Yusuf.
Referensi :
tengkuzulkarnain.net
bataviase.co.id
bundel.multiply.com
entons.multiply.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar