Di kampung saya lain lagi, memasuki buka puasa kesembilan Ramadhan 1431H ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, tetangga saya (yah... kira2 4 rumah dari rumah saya) mengirim makanan buka puasa untuk keluarga saya. Sepotong buah nangka.
Senangnya, karena rencana awal buka puasa hanyalah segelas sirup susu akhirnya berubah menjadi "sirup susu nangka". Tak disangka lagi, rejeki nomplok ini dari tetangga sebelah yang berbeda keyakinan dengan keluarga saya (untuk kemudian, tanpa bermaksud SARA, tetangga yang berbeda keyakinan saya sebut "mereka" dan yang sekeyakinan saya sebut "kami")
Tentunya, saya pikir tak ada tendensi apapun dari kebaikan mereka. Tak pernah terpikirkan untuk berprasangka yang bukan-bukan tentang hal ini, karena "tradisi" seperti ini sudah lama berlangsung. Contoh kecil, jika kami yang merayakan hari raya, kadang kami sekampung makan bareng bersama mereka, begitupun jika mereka yang sedang merayakan hari rayanya, jika berlebih, mereka membagikan makanan kepada kami.
Tentu saja makanan yang mereka bawa bukan makanan "haram" buat kami, karena mereka mengerti apa yang bisa kami makan dan apa yang tidak bisa. Dan kami tak pernah berprasangka buruk terhadap mereka. Catat, ini hanya dalam hal bagi-bagi rejeki, makanan, bukan dalam hal ibadah.
Walaupun ada "aliran" yang terkesan "ekstrim" dengan melarang kami untuk menerima makanan dari mereka, bahkan melarang memberi ucapan selamat hari raya kepada mereka, namun atas nama "toleransi", saya tetap keukeuh melakukannya.
Akhirnya, sungguh ironis dan bertolak belakang kejadian antar dua "kampung" ini, dan "toleransi" bagaimanapun bentuknya, tentunya tetap menimbulkan pro-kontra hingga akhir zaman nanti. Bagaimana dengan kampung anda ? Semoga damai tetap di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar