Cepatlah besar matahariku, songsonglah kerasnya dunia, buah hatiku
Hampir saja saya lupa, ternyata hari ini, 23 Juli 2010 adalah Hari Anak Nasional. Entah sejak tahun berapa hari ini diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Banyak kemudian potret miris mengenai anak-anak kita, sampai bang Iwan pun menulis lagu untuk itu, walaupun lebih tampak individunya, anaknya, Galang Rambu Anarki.
Kemarin baru saja lihat anak kecil, tinggi tidak cukup semeter, membawa karung dan besi pengait kecil, pemulung. Dia membawa adiknya yang lebih kecil darinya, juga membawa karung, dengan pakaian lusuh menyusuri tepi jalan di depan Rumah Sakit Daya Makassar. Tak sempat saya potret, namun itu hanya satu kasus dari sekian banyak anak yang hidup mempprihatinkan.
Pernah juga ada anak yang membongkar tempat sampah di sekitar jalan Rappocini. Setelah membongkar dan tidak mendapat apa-apa, dia lalu mendekati saya dan meminta sejumlah uang. Saya tak memberi, saya tak suka dipaksa. Lain lagi cerita di depan distro, bersama temannya, seorang pemulung anak-anak dengan gesit memungut plastik bekas di depan distro, tanpa ekspresi. Saya kasihan dan memberinya uang lima ribuan dan dengan senyum sumringah dia berterima kasih dan bergegas pergi.
Dari dua tipe utama tadi, saya kemudian salut pada tipe kedua, tanpa mengeluh tetap bekerja keras walaupun sebenarnya ”FAKIR MISKIN DAN ANAK TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA”. Tidak ada cerita atau alasan yang membiarkan anak-anak dibawah umur bekerja untuk hidupnya. Anak-anak harusnya hanya bermain dan belajar.
Teringat (lagi) beberapa hari kemarin, ada kabar gembira kalau anak-anak Indonesia meraih juara umum olimpiade Biologi, olimpiade Fisika, Kimia, atau yang lainnya. Ini membuktikan kalau sebenarnya anak Indonesia mampu bersaing dengan dunia luar. Setelah mereka juara, kemana mereka pergi? Tak ada follow up dari pemerintah. Mungkin saja mereka kabur ke luar negeri, diperdagangkan diluar sana sebagai ras manusia unggul.
Anak pemulung dan pemenang olimpiade. Ini juga membuktikan kalau terdapat kesenjangan yang sangat jauh antar anak Indonesia. Antara anak pintar dan tidak pintar, anak kaya dan miskin, dan anak beruntung dan tak beruntung. Kesenjangan ini makin lama makin melebar bila tak ada inisiatif memperkecil jarak kesenjangan itu. Lihat saja (maaf, ini bukan tulisan rasis), sebagian anak yang menang olimpiade bahkan lebih dari separunya adalah anak-anak berkulit putih dan bermata sipit, dan yang memulung tak ada ber”jenis” seperti itu.
Anak cerdas lagi-lagi berkaitan dengan ekonomi dan kesehatan, terkhusus masalah gizi. Biar anda yang melanjutkan lah. Saya capek nulisnya, hanya bisa menatap nanar membayangkan anak-anak jalanan, anak pemulung. Apa bisanya negeri ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar